PUISI "RINTIK KENANGAN" KARYA ERIN ENDANG A
RINTIK KENANGAN
KARYA ::: ERIN ENDANG A
Kembali menghirup udara kotamu, Probolinggo. Kota seribu kenangan kemarin di bulan Juli. Di mana tiap sudut alun alunya kujelajah hingga kakiku penuh luka luka. Masih pada lembar yang sama, sebuah mobil menurunkan aku di tempat sama dengan hawa yang berbeda. Ah, alun alun ini masih seperti kemarin saat untuk pertamakalinya aku berteduh dari mendungnya sebuah keputusasaan.
Kemudian aku masuk dan berjalan melhat kanan kiri mencari di mana aku meninggalkan sebuah jejak rintikku. Ah, masih kulihat orang yang sama. Namun berbeda penampilan. Mungkin perjalanan kemarin membuatnya menjadi wajah baru.
"Hai Dwiker, apa kabarmu?
"Baik Mbak, senang bertemu kembali, apa tersesat seperti dahulu? Tidak beruang dan galau?"
Tawa kami pecah, keriuhan bertambah ketika semua anggota Alker hadir. Ya, dahulu mereka adalah perampok, pencopet dan anak anak jalanan tanpa asal muasal. Aku sedikit gembira, karena mereka berubah menjadi lebih baik. Dan masih banyak kesedihan yang tersimpan dalam tiap senyumku yang mengudara.
"Mbak,lagukanlah syair syair itu!" menunjuk sudut di mana sebuah catatan puisiku dahulu kutulis. Penanya masih jelas terbaca dan belum terhapus cat apalagi cuaca.
"Mbak, ini gitarnya dan ini tulisan sudah kusalinkan."
"Jadi Kau ...!"
"Iya, Aku dendangkan selalu jika rindu Mbknya."
"Aduh, Aku tersanjung, terimakasih."
Kemudian jariku menari di atas gitar.
DINI YANG DIAM
Aku terjebak macet, di jalurmu
dengan mata basah
tanpa sehelai harapan di antaranya.
Lalu mencoba berdamai dengan hari
di mana riuhnya kuheningkan
walau hujan semakin deras di pelupuk mata.
Dini ini menjadi ruang sunyi
embun embun misteri menguap naik
cahaya terik mulai membakar
dan jantungku masih baik baik saja.
Probolinggo, 9 Juli 2017.
PETANG GELISAH
Duhai matahari yang muncul di balik pintu
aku masih di sini
bersama kumpulan asin
yang melahap roda kehidupan
penuh kabut noda
sebab kesukarannya meraba pintu.
Probolinggo, 9 Juli 2017.
MALAM PENGAKHIRAN
Nikmatmu, Ya Allah
membubarkan riwayat gelap
untuk menyetubuhi jalur
yang hampir tergeletak mati
dalam punuk puisi
Kemudian-
pintu begitu mudah terbuka
memulangkan tubuhku
pada kota kelahiran
yang hampir saja tak tersebutkan.
Betapa riuhku dalam doa telah terijabah
menghadirkan senyuman
pada seraut wajah mendung seharian ini.
Probolinggo, 9 Juli 2017.
Titik bening terjatuh kembali, dan kelompok Alker ingin mengantarkan aku pulang.
"Assalamualaikum." serempak.
"Waalaikumsalam, eh Dek Erin ...!"
"Njeh, Bu Lik, Aku datang."
"Masuk Nduk, dan teman temanmu suruh masuk juga.
Kami sama sama menikmati senja dengan begitu manis di halaman rumah pak lik. Aku berharap esok adalah hari paling damai di antara keredupan kemarin.
Probolinggo, 11 Oktober 2017
KARYA ::: ERIN ENDANG A
Kembali menghirup udara kotamu, Probolinggo. Kota seribu kenangan kemarin di bulan Juli. Di mana tiap sudut alun alunya kujelajah hingga kakiku penuh luka luka. Masih pada lembar yang sama, sebuah mobil menurunkan aku di tempat sama dengan hawa yang berbeda. Ah, alun alun ini masih seperti kemarin saat untuk pertamakalinya aku berteduh dari mendungnya sebuah keputusasaan.
Kemudian aku masuk dan berjalan melhat kanan kiri mencari di mana aku meninggalkan sebuah jejak rintikku. Ah, masih kulihat orang yang sama. Namun berbeda penampilan. Mungkin perjalanan kemarin membuatnya menjadi wajah baru.
"Hai Dwiker, apa kabarmu?
"Baik Mbak, senang bertemu kembali, apa tersesat seperti dahulu? Tidak beruang dan galau?"
Tawa kami pecah, keriuhan bertambah ketika semua anggota Alker hadir. Ya, dahulu mereka adalah perampok, pencopet dan anak anak jalanan tanpa asal muasal. Aku sedikit gembira, karena mereka berubah menjadi lebih baik. Dan masih banyak kesedihan yang tersimpan dalam tiap senyumku yang mengudara.
"Mbak,lagukanlah syair syair itu!" menunjuk sudut di mana sebuah catatan puisiku dahulu kutulis. Penanya masih jelas terbaca dan belum terhapus cat apalagi cuaca.
"Mbak, ini gitarnya dan ini tulisan sudah kusalinkan."
"Jadi Kau ...!"
"Iya, Aku dendangkan selalu jika rindu Mbknya."
"Aduh, Aku tersanjung, terimakasih."
Kemudian jariku menari di atas gitar.
DINI YANG DIAM
Aku terjebak macet, di jalurmu
dengan mata basah
tanpa sehelai harapan di antaranya.
Lalu mencoba berdamai dengan hari
di mana riuhnya kuheningkan
walau hujan semakin deras di pelupuk mata.
Dini ini menjadi ruang sunyi
embun embun misteri menguap naik
cahaya terik mulai membakar
dan jantungku masih baik baik saja.
Probolinggo, 9 Juli 2017.
PETANG GELISAH
Duhai matahari yang muncul di balik pintu
aku masih di sini
bersama kumpulan asin
yang melahap roda kehidupan
penuh kabut noda
sebab kesukarannya meraba pintu.
Probolinggo, 9 Juli 2017.
MALAM PENGAKHIRAN
Nikmatmu, Ya Allah
membubarkan riwayat gelap
untuk menyetubuhi jalur
yang hampir tergeletak mati
dalam punuk puisi
Kemudian-
pintu begitu mudah terbuka
memulangkan tubuhku
pada kota kelahiran
yang hampir saja tak tersebutkan.
Betapa riuhku dalam doa telah terijabah
menghadirkan senyuman
pada seraut wajah mendung seharian ini.
Probolinggo, 9 Juli 2017.
Titik bening terjatuh kembali, dan kelompok Alker ingin mengantarkan aku pulang.
"Assalamualaikum." serempak.
"Waalaikumsalam, eh Dek Erin ...!"
"Njeh, Bu Lik, Aku datang."
"Masuk Nduk, dan teman temanmu suruh masuk juga.
Kami sama sama menikmati senja dengan begitu manis di halaman rumah pak lik. Aku berharap esok adalah hari paling damai di antara keredupan kemarin.
Probolinggo, 11 Oktober 2017
Advertisement