Sayap merekah membawanya melayang.
Menerbangkannya sampai ke langin ketujuh
Menabrak langit jatuh ke dasar
deburan ombak, gelombang air laut, serpihan pecahan karang membawa setiap luka.
Menggoreskan luka baru, dalam lubuk hati.
Luka yang memberi rasa
Rasa yang akan tersimpan di dalam setiap memory perjalanan
Yang tak pernah tau kapan akan terputar kembali
Fikiran sudah mulai berhenti
Namun, otak memaksanya untuk berputar kembalu, mengaduk nirwana kehidupan
Bukan hanya itu, hatipun seakan bisu bergumam lirih.
Ingin rasanya ku menjerit kepada dunia fana ini.
Menjeritlah, hingga suara mu tak keluar lagi, hingga tenggorokan bak lorong kering, hingga mata, hati dan logika berjalan berdampingan
Aku sudah berdiri disini, ya disini tempatku pertama berjumpa dengan indahnya Pertiwiku.
Aku bersuara, aku melantangkannya. Aku berteriak, hingga tak sanggup ku menopang tubuh lusuh ini.
Ingin segera bangkit, namun apa? Aku masih saja swndiri disini.
Mana, mereka? kemana? yang katanya selalu ada, yang sealu bersama dalam suka-duka.
Kemana? aku tak melihat batang hidung sama sekali.
Apa mereka lupa? Atau pura-pura lupa dengan kondisi pertiwi, yang moralnya semakin merosot?
Apa salahku? berteriak sekeras mungkin?
Kemudian teriakan menjadi bait paling ampuh, pada nirwana kosong. Di mana ruang pergerakannya tergeletak mati di sudut bumi yang kalian sebut sepi.
@lilianaAliya
@endanga
@Oktami Nur Khmah
(yang tadi ikut sambung puisi, tulis nama 👆)
Menerbangkannya sampai ke langin ketujuh
Menabrak langit jatuh ke dasar
deburan ombak, gelombang air laut, serpihan pecahan karang membawa setiap luka.
Menggoreskan luka baru, dalam lubuk hati.
Luka yang memberi rasa
Rasa yang akan tersimpan di dalam setiap memory perjalanan
Yang tak pernah tau kapan akan terputar kembali
Fikiran sudah mulai berhenti
Namun, otak memaksanya untuk berputar kembalu, mengaduk nirwana kehidupan
Bukan hanya itu, hatipun seakan bisu bergumam lirih.
Ingin rasanya ku menjerit kepada dunia fana ini.
Menjeritlah, hingga suara mu tak keluar lagi, hingga tenggorokan bak lorong kering, hingga mata, hati dan logika berjalan berdampingan
Aku sudah berdiri disini, ya disini tempatku pertama berjumpa dengan indahnya Pertiwiku.
Aku bersuara, aku melantangkannya. Aku berteriak, hingga tak sanggup ku menopang tubuh lusuh ini.
Ingin segera bangkit, namun apa? Aku masih saja swndiri disini.
Mana, mereka? kemana? yang katanya selalu ada, yang sealu bersama dalam suka-duka.
Kemana? aku tak melihat batang hidung sama sekali.
Apa mereka lupa? Atau pura-pura lupa dengan kondisi pertiwi, yang moralnya semakin merosot?
Apa salahku? berteriak sekeras mungkin?
Kemudian teriakan menjadi bait paling ampuh, pada nirwana kosong. Di mana ruang pergerakannya tergeletak mati di sudut bumi yang kalian sebut sepi.
@lilianaAliya
@endanga
@Oktami Nur Khmah
(yang tadi ikut sambung puisi, tulis nama 👆)
Advertisement
Advertisement