PUISI UNTUK ANAS URBANINGRUM " Kiriman "
Bisnis Investasi
Selasa, Januari 14, 2014
Puisi Kiriman,
Puisi Korupsi,
Puisi Koruptor,
Puisi Politik
Edit
Berikut ini adalah puisi kiriman dari pembaca puisina yang tidak ingin di sebut namanya . Terinspirasi dari berita tentang penahanan anas urbaningrum di media masa, penulis ini ingin menyampaikan unek-unek hati melalui puisi .
Orang-Orang di sekitarku. Mengibarkan bendera orasi masa kini.
Masa yang menghanyutkan pucuk daun muda dalam arus demokrasi buta.
Sungguh kasihan saja, watak mereka sebagai daun muda pucuk bangsa ini.
Jarang lagi kreasi tercipta di jemari. Pena menjadi terparkir dalam saku.
Tutur santun menjadi hal yang tabuh di lisan. Tercipta bak karakter biadab.
Atau….
Pantaskah sang pena berkelahi dengan senjata?
Atau ekstensi moral hanya menjadi lukisan dinding kota?
Corak amoral keragaman budaya anarki memasung kalimat-kalimat ambigu.
Melukai tulang hasta
Berdarah hingga bernanah.
Malukah ketika tawuran menjadi budaya
Mendarah daging dalam karakter berbangsa.
Mulai Anak Sekolah Hingga menteri-menteri terhormat.
Mari siapa saja duduk di atas gelaran permadani budaya!
Jangan termangu saja!
Lukis wajah sendiri dengan kanvas.
Memulas keindahan dalam bingkai keragaman seni
Yang tak sekedar jadi hakikat apresiasi.
Hmmmm….kawan..begitulah
Kerusuhan dan Anarkis menjadi bumbu kehidupan Mencoreng wajah sang merah putih.
Adat istiadat…,
Nilai luhur…,
Petuah dan tata krama tergantung di mega biru.
Saat leher tikus-tikus berdasi tercekik.
Saat tangisan rakyat jelata menjadi fenomena mengais seonggok sampah sejarah.
Berbicara perihal sampah berikut nyanyianku tentang sampah…
Eee……ee……eeeeee
Sampai sumpah simpan sampah.
Simpan saja sampahmu di bak sampah.
Sampah-sampah negeri menyimpan sumpah di bak sampah.
Sampaikan juga sumpah kita untuk sampah-sampah negeri ini.
Jangan sampai menjadi sampah di persimpangan sampah.
Tat kala sampah saja dicaci kata sampah.
Tak perlu berdalih sampai sesampah itu.
Jikalau habitatmu disimpan pada tumpukan-tumpukan sampah.
Oh kepada pemimpin negeri ini..
Sumpah kami tak perlu sumpahmu sampai sampah-sampah disapu bersih dibakar sumpah.
Wahai sosok sampah, enyahlah dari bumi yang kau tumpuk dengan sampah.
Bunda pertiwi, semakin gelisah seolah bergumam kapan sampah kotor negara ini terseret arus dan tak kembali?
Agar sedih tak lagi mewarnai potret Indonesiaku saat ini.
Kini pun Aku ingin menjadi alamamater dan penulis sejati melawan tanpa senjata.
Menulis kisah dan melukis wajah bangsaku,
Dalam bahasa kesedihan merajam dinding hati pahlawan yang belum mati.
hanya tinta hitam dan kertas buram menjadi simfoni hidup saat ini.
Ohhhh….00HHH…
Kepada para diktator.
Biarkanlah syair bergeming membahasakan dirinya sendiri dalam secarik kertas usang berkiprah di masa kini.
Saat pena menjadi saksi bisu perdamaian dan kedaulatan sejati yang telah mati.
Di balik kisah Jamahlah mata-mata bening Pengemis.
Tangannya sungguh mungil berderet menghiasi gemerlap kota.
Menorehkan pedih dihati bunda pertiwi.
Saat manusia berkepala tikus berpesta meneguk-neguk tetesan air mata.
Gema tawanya (ahhahahahaha)…..adalah rintihan tangis mereka.
Manusia berkepala tikus, langkahnya selalu dipacu oleh ambisi.
Enteng, dia duduk bersila kaki.
Memutuskan rantai harapan insan jelata.
Insan yang tergeletak tidur di sudut-sudut kota.
Tanah airku menangis saat hari kebangkitan nasional menjadi fatamorgana.
Indonesiaku kehilangan wajahnya sendiri.
Dicuri dan dirampas manusia berkepala tikus.
Sumber : https://www.facebook.com/permalink.php?id=102664799880781&story_fbid=171591422988118
Orang-Orang di sekitarku. Mengibarkan bendera orasi masa kini.
Masa yang menghanyutkan pucuk daun muda dalam arus demokrasi buta.
Sungguh kasihan saja, watak mereka sebagai daun muda pucuk bangsa ini.
Jarang lagi kreasi tercipta di jemari. Pena menjadi terparkir dalam saku.
Tutur santun menjadi hal yang tabuh di lisan. Tercipta bak karakter biadab.
Atau….
Pantaskah sang pena berkelahi dengan senjata?
Atau ekstensi moral hanya menjadi lukisan dinding kota?
Corak amoral keragaman budaya anarki memasung kalimat-kalimat ambigu.
Melukai tulang hasta
Berdarah hingga bernanah.
Malukah ketika tawuran menjadi budaya
Mendarah daging dalam karakter berbangsa.
Mulai Anak Sekolah Hingga menteri-menteri terhormat.
Mari siapa saja duduk di atas gelaran permadani budaya!
Jangan termangu saja!
Lukis wajah sendiri dengan kanvas.
Memulas keindahan dalam bingkai keragaman seni
Yang tak sekedar jadi hakikat apresiasi.
Hmmmm….kawan..begitulah
Kerusuhan dan Anarkis menjadi bumbu kehidupan Mencoreng wajah sang merah putih.
Adat istiadat…,
Nilai luhur…,
Petuah dan tata krama tergantung di mega biru.
Saat leher tikus-tikus berdasi tercekik.
Saat tangisan rakyat jelata menjadi fenomena mengais seonggok sampah sejarah.
Berbicara perihal sampah berikut nyanyianku tentang sampah…
Eee……ee……eeeeee
Sampai sumpah simpan sampah.
Simpan saja sampahmu di bak sampah.
Sampah-sampah negeri menyimpan sumpah di bak sampah.
Sampaikan juga sumpah kita untuk sampah-sampah negeri ini.
Jangan sampai menjadi sampah di persimpangan sampah.
Tat kala sampah saja dicaci kata sampah.
Tak perlu berdalih sampai sesampah itu.
Jikalau habitatmu disimpan pada tumpukan-tumpukan sampah.
Oh kepada pemimpin negeri ini..
Sumpah kami tak perlu sumpahmu sampai sampah-sampah disapu bersih dibakar sumpah.
Wahai sosok sampah, enyahlah dari bumi yang kau tumpuk dengan sampah.
Bunda pertiwi, semakin gelisah seolah bergumam kapan sampah kotor negara ini terseret arus dan tak kembali?
Agar sedih tak lagi mewarnai potret Indonesiaku saat ini.
Kini pun Aku ingin menjadi alamamater dan penulis sejati melawan tanpa senjata.
Menulis kisah dan melukis wajah bangsaku,
Dalam bahasa kesedihan merajam dinding hati pahlawan yang belum mati.
hanya tinta hitam dan kertas buram menjadi simfoni hidup saat ini.
Ohhhh….00HHH…
Kepada para diktator.
Biarkanlah syair bergeming membahasakan dirinya sendiri dalam secarik kertas usang berkiprah di masa kini.
Saat pena menjadi saksi bisu perdamaian dan kedaulatan sejati yang telah mati.
Di balik kisah Jamahlah mata-mata bening Pengemis.
Tangannya sungguh mungil berderet menghiasi gemerlap kota.
Menorehkan pedih dihati bunda pertiwi.
Saat manusia berkepala tikus berpesta meneguk-neguk tetesan air mata.
Gema tawanya (ahhahahahaha)…..adalah rintihan tangis mereka.
Manusia berkepala tikus, langkahnya selalu dipacu oleh ambisi.
Enteng, dia duduk bersila kaki.
Memutuskan rantai harapan insan jelata.
Insan yang tergeletak tidur di sudut-sudut kota.
Tanah airku menangis saat hari kebangkitan nasional menjadi fatamorgana.
Indonesiaku kehilangan wajahnya sendiri.
Dicuri dan dirampas manusia berkepala tikus.
Sumber : https://www.facebook.com/permalink.php?id=102664799880781&story_fbid=171591422988118
Advertisement