Puisi Madura Dan Kenangan - puisi kiriman dari teman berjudul asli madura, dalam puisi ini menggambarkan kisah orang madura yang sedang dalam perantauan kemudian dia pulang kampung , silahkan baca selengkapnya Puisi Madura .
Angin pelan-pelan bertiup di pelabuhan kecil itu
Ketika tiba ; dengan langit, pohon, terik, kapal dan
sampan yang tenggelam di pintu cakrawala
Selamat pagi tanah kelahiran
Sebab aku tidak menghitung untuk yang keberapa kali
Kapan saat menebal pada waktu
Sebab aku tahu paling berat adalah rindu
Sangsi selalu melagukan hasrat dan impian-impian
Dan adakah yang lebih nikmat daripada bersahabat
dengan alam, dengan tanah kelahiran, dan dengan
kerja serta dengan kehidupan ?
Aku akan mengatakan tapi tidak untuk yang penghabisan :
Ketenangan Selat Kamal
adalah ketenangan hatiku
membuang pikiran hatiku
yang mengganggu sajakku
kurangkul tubuh alam
seperti mula kelahiran Adam
sedang sesudah mengembara
baiklah kita rahasiakan
dari perjalanan ini
aku membawa timbun puisi
bahwa aku selalu asyik mencari
keteduhan mimpi
Kebiruan Selat Kamal
adalah kebiruan sajakku
dan terasa hidup makin kekal
sesudah memusnahkan rindu
bertemu segala milik dan hak
dalam cinta dan sajak
noktah-noktah berdebu dibersihkan
di kedua tangan
kuberi pula salam sayup
kepada pantai yang berbatas pasir
dan langit yang mulai redup
pada waktu sajak lahir
Kedangkalan Sungai Sampang
adalah kedangkalan hatiku
menimbang hidup terlalu gampang
dan di situ ketergesaan mengganggu
dan terlalu tamak
dengankesempurnaan
dengan sesuatu yang bukan hak
dengan kejemuan
tapi sekali saat tiba juga
pada suatu tempat
tanpa petunjuk siapa-siapa
asal kita bersempat
mengerti juga kenapa kiambang
bertaut sepanjang sungai
dengan belukar dan kumbang-kumbang
sebelum kita sampai ke dasar dan muaranya
Diamnya Sungai Sampang
adalah diamnya sajakku
sekali waktu banjir datang
sekali waktu airnya biru
dan bertetap tujuan
ke suatu muara
yang mengalir dari suatu daerah pegunungan
untuk sumber pertama
Kerendahan Bukit Payudan
adalah kerendahan hatiku
menerima nasib dalam kehidupan
di atas kedua bahu
sesekali pernah kita
tidak tahu tentang kelahiran
dan bertakut menjadi tua
karena ancaman kematian
Kemarahan Bukit Payudan
adalah kemarahan sajakku
untuk mengerti kepastian
yang lebih keras dari batu
sesekali pernah kita
tidak tahu ke mana mengembara
kemudian muncul kembali di tanah kesayangan
dengan kehampaan di tangan
tak seorang menyambut datang
tak seorang menanti pulang
tak seorang menerima lapang
atau membacakan tembang-tembang
dan kesia-siaan begini
akan selalu kualami
namun tak selalu kusesali
sebab kubenam sebelum jadi
Keterpencilan desa Pasongsongan
adalah keterpencilan hatiku
sebelum memulai perjalanan
ke jauh kota dan pulau
tapi keabadian lautnya kini
telah mengembalikan cintaku
tanah yang pernah tersia sebelum dimengerti
dan ditinggalkan rasa kebanggaanku
dan sebagai anak manusia
sekali aku minta istirah mengembara
berhenti membuat puisi yang memdera
dan berhenti memikat dara-dara
sebab di sinilah tumpahnya
darah kita pertama
dan terakhir berhentinya
mengaliri nadinya
Angin pelan-pelan bertiup di pelabuhan kecil itu
Ketika tiba ; dengan langit, pohon, terik, kapal dan
sampan yang tenggelam di pintu cakrawala
Selamat pagi tanah kelahiran
Sebab aku tidak menghitung untuk yang keberapa kali
Kapan saat menebal pada waktu
Sebab aku tahu paling berat adalah rindu
Sangsi selalu melagukan hasrat dan impian-impian
Dan adakah yang lebih nikmat daripada bersahabat
dengan alam, dengan tanah kelahiran, dan dengan
kerja serta dengan kehidupan ?
Aku akan mengatakan tapi tidak untuk yang penghabisan :
Ketenangan Selat Kamal
adalah ketenangan hatiku
membuang pikiran hatiku
yang mengganggu sajakku
kurangkul tubuh alam
seperti mula kelahiran Adam
sedang sesudah mengembara
baiklah kita rahasiakan
dari perjalanan ini
aku membawa timbun puisi
bahwa aku selalu asyik mencari
keteduhan mimpi
Kebiruan Selat Kamal
adalah kebiruan sajakku
dan terasa hidup makin kekal
sesudah memusnahkan rindu
bertemu segala milik dan hak
dalam cinta dan sajak
noktah-noktah berdebu dibersihkan
di kedua tangan
kuberi pula salam sayup
kepada pantai yang berbatas pasir
dan langit yang mulai redup
pada waktu sajak lahir
Kedangkalan Sungai Sampang
adalah kedangkalan hatiku
menimbang hidup terlalu gampang
dan di situ ketergesaan mengganggu
dan terlalu tamak
dengankesempurnaan
dengan sesuatu yang bukan hak
dengan kejemuan
tapi sekali saat tiba juga
pada suatu tempat
tanpa petunjuk siapa-siapa
asal kita bersempat
mengerti juga kenapa kiambang
bertaut sepanjang sungai
dengan belukar dan kumbang-kumbang
sebelum kita sampai ke dasar dan muaranya
Diamnya Sungai Sampang
adalah diamnya sajakku
sekali waktu banjir datang
sekali waktu airnya biru
dan bertetap tujuan
ke suatu muara
yang mengalir dari suatu daerah pegunungan
untuk sumber pertama
Kerendahan Bukit Payudan
adalah kerendahan hatiku
menerima nasib dalam kehidupan
di atas kedua bahu
sesekali pernah kita
tidak tahu tentang kelahiran
dan bertakut menjadi tua
karena ancaman kematian
Kemarahan Bukit Payudan
adalah kemarahan sajakku
untuk mengerti kepastian
yang lebih keras dari batu
sesekali pernah kita
tidak tahu ke mana mengembara
kemudian muncul kembali di tanah kesayangan
dengan kehampaan di tangan
tak seorang menyambut datang
tak seorang menanti pulang
tak seorang menerima lapang
atau membacakan tembang-tembang
dan kesia-siaan begini
akan selalu kualami
namun tak selalu kusesali
sebab kubenam sebelum jadi
Keterpencilan desa Pasongsongan
adalah keterpencilan hatiku
sebelum memulai perjalanan
ke jauh kota dan pulau
tapi keabadian lautnya kini
telah mengembalikan cintaku
tanah yang pernah tersia sebelum dimengerti
dan ditinggalkan rasa kebanggaanku
dan sebagai anak manusia
sekali aku minta istirah mengembara
berhenti membuat puisi yang memdera
dan berhenti memikat dara-dara
sebab di sinilah tumpahnya
darah kita pertama
dan terakhir berhentinya
mengaliri nadinya
Advertisement
Advertisement