Puisi Kenangan Pantai Sanur Bali - puisi ini menggambarkan kenangan yang mendalam terkait tempat wisata sanur bali .
POTRET PANJANG SEORANG PENGUNJUNG PANTAI SANUR
Ini sebuah musik
Untukmu dan untukku
Untuk pengunjung hari minggu
Di ombak, di nyiur, di pasir panas
Dan suhu tropika
yang robek dan terbakar
Sebab belum muncul anak-anak nelayan
mencari tripang dan kerang tua
Pada malam harinya mereka bermimpi
tentang kamar hotel dan sisa makanan
buat si kucing
sudah kau siapkan
kail panjang
kalung mainan
dari bantuan ?
malam panjang yang sepi
malam tadi
terasa ditiup angin pagi
segelas es dihidangkan
pada meja-meja berpayung
minuman keras buat si kulit putih
dan malaikat-malaikat ini seperti rokh suci
yang dilemparkan keriuhan tekhnologi
dikenalnya selusin sistem kehidupan
dan kau tambah tak yakin akan pilsafat
begitu kata Hegel
begitu kata Nietzche
begitu kata Tylor
sungguh !
kau tambah muda
mainan apa yang sekarang kau pegang ?
mainan apa dan bayangan yang mana yang kini yang kau pandang ?
tidak menoleh
tidak bicara
dan bicara untuk apa
segumpal pasir seakan jatuh
dari risik daun nyiur
hotel modern bertingkat sepuluh
untukmu dan untukmu
untuk pengunjung hari minggu
yang kesepian
kamar-kamar yang antik
di atas pantai
dan aku lari dari kenangan dan kenyataan
serta impian dan hari tua
serta patung-patung kayu
Bali yang tenang
menguap seperti orang bangun tidur
dan mennghempaskan diri ke pasir
bagai ikan duyung
di ranjang pengantin
di Sanur
Belum ada tanda
bahwa mereka akan bertelanjang bulat
atau pakai b.h. dan bikini saja
seperti nelayan-nelayan Madura
yang menelan cahaya matahari
di atas perahu-perahu yang kencang
layar mereka terbuka
seperti pintu-pintu kaca
berkilauan
tunggu aku ! Dari tingkah peradaban
bintang film dan salon kecantikan
kandang babi dan kitab suci
Rusia tertelungkup di bawah telapaknya
Dan Cina serta Amerika
Israel di bawah kaki mereka
tunggu aku ! Jangan pergi sendiri
orang asing di tanah airnya sendiri
dengan sebilah belati, sendiri
di ikat pinggang yang longgar
dan tak mencari inspirasi
lagu haus di piringan hitam
menggema dan tenggelam
dalam rawa-rawa pohon bakau
dan naik ke balkon
Ya ! ya . . . Ini musim kemarau
aku kenal istialahnya, tidak asing
tapi menjemukan
aku kenal bunyinya, tidak asing
tapi membosankan
Gamelan Bali ini
Tari-tarian gadis-gadis ini
Turis-turis ini
Aku dan kau
para nelayan
relief yang terpampang pada dinding hotel
dan kesunyian yang membakar
wiski dingin dan bistik kental
aku kenal baunya, tidag asing
maka aku melekukkan bibirku
dan berkata padamu ;
Ya ! ya . . . . . Ini sebuah musik
sebuah saja
Pengunjung-pengunjung hari Minggu hari ini
akan terlambat pulang
nelayan hilang
penyair tak mencari inspirasi
dan ombak yang membujuk-bujuk engkau
akan parau
aku kenal, tidak asing suaranya
meskipun tak pernah bersama nelayan
aku kenal . . . . . . . .
POTRET PANJANG SEORANG PENGUNJUNG PANTAI SANUR
Ini sebuah musik
Untukmu dan untukku
Untuk pengunjung hari minggu
Di ombak, di nyiur, di pasir panas
Dan suhu tropika
yang robek dan terbakar
Sebab belum muncul anak-anak nelayan
mencari tripang dan kerang tua
Pada malam harinya mereka bermimpi
tentang kamar hotel dan sisa makanan
buat si kucing
sudah kau siapkan
kail panjang
kalung mainan
dari bantuan ?
malam panjang yang sepi
malam tadi
terasa ditiup angin pagi
segelas es dihidangkan
pada meja-meja berpayung
minuman keras buat si kulit putih
dan malaikat-malaikat ini seperti rokh suci
yang dilemparkan keriuhan tekhnologi
dikenalnya selusin sistem kehidupan
dan kau tambah tak yakin akan pilsafat
begitu kata Hegel
begitu kata Nietzche
begitu kata Tylor
sungguh !
kau tambah muda
mainan apa yang sekarang kau pegang ?
mainan apa dan bayangan yang mana yang kini yang kau pandang ?
tidak menoleh
tidak bicara
dan bicara untuk apa
segumpal pasir seakan jatuh
dari risik daun nyiur
hotel modern bertingkat sepuluh
untukmu dan untukmu
untuk pengunjung hari minggu
yang kesepian
kamar-kamar yang antik
di atas pantai
dan aku lari dari kenangan dan kenyataan
serta impian dan hari tua
serta patung-patung kayu
Bali yang tenang
menguap seperti orang bangun tidur
dan mennghempaskan diri ke pasir
bagai ikan duyung
di ranjang pengantin
di Sanur
Belum ada tanda
bahwa mereka akan bertelanjang bulat
atau pakai b.h. dan bikini saja
seperti nelayan-nelayan Madura
yang menelan cahaya matahari
di atas perahu-perahu yang kencang
layar mereka terbuka
seperti pintu-pintu kaca
berkilauan
tunggu aku ! Dari tingkah peradaban
bintang film dan salon kecantikan
kandang babi dan kitab suci
Rusia tertelungkup di bawah telapaknya
Dan Cina serta Amerika
Israel di bawah kaki mereka
tunggu aku ! Jangan pergi sendiri
orang asing di tanah airnya sendiri
dengan sebilah belati, sendiri
di ikat pinggang yang longgar
dan tak mencari inspirasi
lagu haus di piringan hitam
menggema dan tenggelam
dalam rawa-rawa pohon bakau
dan naik ke balkon
Ya ! ya . . . Ini musim kemarau
aku kenal istialahnya, tidak asing
tapi menjemukan
aku kenal bunyinya, tidak asing
tapi membosankan
Gamelan Bali ini
Tari-tarian gadis-gadis ini
Turis-turis ini
Aku dan kau
para nelayan
relief yang terpampang pada dinding hotel
dan kesunyian yang membakar
wiski dingin dan bistik kental
aku kenal baunya, tidag asing
maka aku melekukkan bibirku
dan berkata padamu ;
Ya ! ya . . . . . Ini sebuah musik
sebuah saja
Pengunjung-pengunjung hari Minggu hari ini
akan terlambat pulang
nelayan hilang
penyair tak mencari inspirasi
dan ombak yang membujuk-bujuk engkau
akan parau
aku kenal, tidak asing suaranya
meskipun tak pernah bersama nelayan
aku kenal . . . . . . . .
puisi cinta rindu dan kehampaan |
Advertisement
Advertisement